JAKARTA – Indonesia merupakan negara yang tumbuh amat pesat dalam perkembangan digital. Hal ini terlihat dari jumlah ponsel yang beredar mencapai 370,1 juta ponsel, sedangkan jumlah penduduk Indonesia hanya 277,7 juta orang.
Berarti, terdapat cukup banyak penduduk yang memiliki ponsel lebih dari satu. Sementara itu, dari pengguna internet di Indonesia yang berjumlah 204,7 juta orang, terdapat 191,4 juta yang aktif di media sosial.
Hal itu dipaparkan Dewan Pengawas Perum Produksi Film Negara (PFN) yang mewakili Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Rosaria Niken Widiastuti, seminar Literasi Digital yang digelar Kominfo bekerja sama dengan Waligereja Indonesia (KWI) di Hotel Livero, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Niken menyampaikan dunia digital tentunya memiliki berbagai tantangan. Era digital memaksa siapa pun mampu beradaptasi, cepat ambil keputusan, dan mampu berpikir out of the box, sekaligus mempelajari banyak hal agar tidak ketinggalan.
“Dunia digital juga memiliki dampak positif dan negatif. Untuk keuntungannya, mulai dari sebagai media komunikasi, pertukaran data, tempat mencari info, sumber penghasilan, hingga alat bantu mengajar. Sementara dampak negatifnya juga tak kalah banyak. Mulai dari kecanduan, perjudian, pornografi, bullying, hingga pencurian data pribadi,” ujar Niken, Kamis, (18/05/2023)
Niken mengingatkan para peserta seminar agar hati-hati terhadap berbagai ancaman di internet seperti hoaks, radikalisme, ujaran kebencian, dan sebagainya. Apalagi, menurut data yang ia dapatkan dari Kominfo, bentuk saluran hoaks terbesar adalah media sosial.
Terdapat enam ciri-ciri hoaks, yaitu sumber info tidak jelas, info memuat keanehan atau hal yang tidak wajar, bahasanya provokatif, tidak sesuai antara judul dan isi, tidak mencantumkan waktu atau tanggal informasi, mendiskreditkan pihak tertentu dan tidak berimbang, serta memuat instruksi untuk meneruskan pesan dan mengancam jika pembaca tidak menyebarkannya.
“Hoaks itu berbahaya karena mampu memicu kemarahan, kebencian, merusak moral, hingga menyebabkan disintegrasi bangsa,” ujar Niken.
Dia mengajak semua pihak untuk mampu membedakan berita yang benar dan hoaks, serta menghindari penyebaran hoaks. Apalagi, penyebar hoaks dapat terkena berbagai dampak, mulai dari hukuman lewat UU ITE hingga kesulitan mendapatkan pekerjaan akibat rekam jejak digital yang buruk.
Selain itu, dia mengimbau semua pihak mau memenuhi media sosial dengan hal-hal yang penuh kebaikan, cinta kasih, nilai-nilai kemanusiaan, dan hal-hal yang produktif dan bermanfaat. Memperbanyak bicara dari hati di media sosial, menurut Niken, akan lebih berguna ketimbang menyimpan informasi negatif yang merugikan.
“Seperti pesan Paus Fransiskus ‘Hatilah yang mendorong kita untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Dan hati itu pulalah yang menggerakkan kita berkomunikasi secara terbuka dan ramah’,” kata Niken.
Algoritma Kebangsaan
Rektor Universitas Pradita, Prof. Richardus Eko Indrajit, juga mengajak semua pihak untuk terus menerus membanjiri media sosial dan dunia digital dengan hal-hal positif. Menurut dia, beberapa tahun terakhir, dunia digital terpolarisasi yang bisa menuju disintegrasi, terutama pada Pemilu 2024.
“Kita harus membanjiri internet dengan berita baik, rasa syukur, kebanggaan sebagai warga Indonesia, supaya konten yang bagus lebih banyak daripada yang buruk. Oleh karena itu, saya perkenalkan istilah algoritma kebangsaan yang bertujuan agar kita sebagai individu rajin menggunakan media sosial untuk menceritakan kabar gembira. Dengan begitu, masyarakat akan lebih optimis, cinta Tanah Air, dan hargai perbedaan,” papar Eko
Eko menjelaskan beberapa strategi yang umumnya dilakukan musuh negara untuk memecah belah bangsa. Pertama, menggunakan prinsip perception is reality. “Semakin sering kita membuka tentang kuliner misalnya, maka media sosial kita akan penuh dengan kuliner. Begitu juga semakin sering kita membuka tentang hoaks, maka kita akan kebanjiran informasi hoaks sehingga kita meyakini bahwa itu adalah realitas,” jelas dia.
Kedua, menerapkan konsep post truth sebagai senjata utama sehingga kebenaran objektif dan fakta menjadi kurang penting dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan emosi, keyakinan pribadi, dan opini yang terbentuk. Ketiga, memanfaatkan rendahnya pendidikan maupun literasi masyarakat dalam berdiskursus di media sosial.
Keempat, menghadirkan algoritma distruktif secara terdistribusi dengan manfaatkan fitur-fitur teknologi di dunia internet.
Sementara itu, Uskup Atambua, Mgr. Dr. Dominikus Saku, juga mengajak para hadirin dan umat Katolik secara umum menghindari hoaks dan belajar meningkatkan literasi agar makin cakap di dunia digital. (*)