TULANG BAWANG BARAT – Jurnalis Senior yang kini menjabat sebagai Spesialis Penangaan Kasus Pers di Dewan Pers. Nurcholis MA Basyari, menyampaikan materi yang akan di hadapi oleh peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) terkait kode etik jurnalistik.
Nurcholis mengatakan, kode etik jurnalistik merupakan salah satu roh yang membedakan wartawan resmi dengan penulis lain yang saat ini tumbuh dan berkembang secara tidak terkendali dan kadang dikeluhkan, yaitu jurnalisme warga.
“Kepatuhan dan ketaatan pada rambu-rambu etika dan hukum, artinya media yang diakui UU (undang-undang) Pers adalah memiliki badan hukum yang jelas.
Kemudian memiliki alamat media jelas dan dicantumkan di media masing-masing.
Selanjutnya, memiliki struktur pengelolaan redaksi mulai dari penanggung jawab, Pimred (Pimpinan Redaksi), hingga wartawan dan lainnya,” terangnya, kepada peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Brugo Cottage, Kelurahan Panaragan Jaya, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat
Pria berkacamata ini menjelaskan, wartawan bekerja dengan prinsip-prinsip profesional yang mana hukum besinya adalah fakta.
“Meskipun kita pilar yang menopang demokrasi dan dilindungi Undang-undang, tapi kita juga warga negara, oleh karena itu yang dijamin adalah kerja jurnalistiknya karena menyangkut kepentingan publik.
Tapi tetap juga harus taat pada Undang-undang, sehingga jika terjadi kasus pers membuat kita tidak serta merta dilakukan proses secara pidana tapi melalui UU Pers,” jelasnya.
Dia menyampaikan, setidaknya wartawan harus memiliki 4 kapasitas, diantaranya skill, kesadaran, pengetahuan, dan leadership.
Nurcholis mengatakan, skill yang wajib dimiliki wartawan menyangkut 6M, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan berita.
“Kita harus punya juga ‘kesadaran’ mengenai lingkungan kita yang menjadi sumber atau objek penulisan kita, artinya apakah peristiwa, problematika, dan wacana di lingkungan kita penting untuk diberitakan. Selain itu, kesadaran terhadap undang-undang yang artinya kita tahu aturan mainnya,” ungkapnya.
Ia juga menyampaikan pengetahuan, bukan hanya ilmu tentang jurnalistik, minimal pengetahuan di bidang kerja atau penugasan kita, jika wartawan pendidikan yang harus kenal seputar kelembagaan pendidikan. Pengetahuan umum di luar desk kita, contohnya pengetahuan tentang sistem pembangunan negara kita,” imbuhnya.
Dan terakhir menurut pria ramah senyum ini, ada ‘leadership.’ Dia mengatakan bahwa minimal wartawan harus merasa kalau dirinya memimpin dirinya sendiri, karena di dunia kewartawanan ada struktur, dimana wartawan tidak bekerja sendiri, bahwa mereka bekerja secara tim.
“Salah satu fungsi leader adalah berkoordinasi, misalnya kita di pendidikan kemudian ada kejadian yang layak diberitakan seperti kecelakaan kereta api, meskipun kita bukan wartawan kota tapi kita tetap memberitahu kepada redaksi atau meliput,” paparnya.
Lebih lanjut, Nurcholis juga menyampaikan ada 11 Pasal Kode Etik Jurnalistik yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Dimana 11 Pasal ini sudah disahkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan SK DP No. 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Pasal 7: Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Perlu diketahui, kegiatan ini digagas oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) dan PT Paragon Technology and Innovation. (jepri)