BANDAR LAMPUNG – Pengadaan barang dan jasa dalam lelang fisik Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN) Universitas Lampung (Unila) menuai kontroversi. Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Lampung menilai proses lelang tersebut terindikasi curang dan melanggar prosedur.
Pembina Gapeksindo Lampung, Doni Barata, menyatakan bahwa dalam proses lelang, rapat penjelasan kantor dan lapangan tidak dihadiri oleh Pokja dan konsultan perencana. Akibatnya, saat proses pengumpulan surat jaminan penawaran atau surat pernyataan jaminan penawaran berupa Bank Garansi atau Letter of Credit, rekanan lokal mengalami kesulitan menyerahkan jaminan tersebut.
Menurut Doni Barata, Gapeksindo Lampung menduga adanya indikasi permainan yang dilakukan oleh Pokja Unila dan calon kontraktor yang akan dimenangkan, untuk menggugurkan rekanan yang lebih kompeten dan unggul secara keuangan dan sumber daya. Gapeksindo Lampung sudah mengirimkan surat himbauan kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Asian Development Bank, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Lampung (KPPU), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sikap serupa ditunjukkan Sekretaris Ikatan Keluarga Alumni dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Lampung, Adi Gayuh Kartiko. Ia menghimbau kepada Rektor Unila dan tim yang terlibat dalam lelang proyek agar tidak main-main dengan proses lelang RSPTN.
“Sebaiknya pihak Unila jangan main-main dalam proyek RSPTN ini, kita ketahui bersama belum lama ini Rektor dan beberapa orang di kampus Unila ditangkap KPK karena praktik korupsi, jadi semoga peristiwa kelam kemarin tidak kembali terulang di Unila,” ungkap Adi Gayuh.
Adi juga mengingatkan agar pinjaman lunak dari Asian Development Bank (ADB) untuk pembangunan rumah sakit dikerjakan secara profesional dan jujur. Pasalnya, jika dilakukan dengan adanya indikasi KKN, hal ini akan merepotkan Unila di kemudian hari.
“ADB sangat anti dengan adanya KKN, maka dalam dokumen harus dibuktikan kepemilikan saham yang sama Sesuai UU no 19 tahun 2003 tentang saham kepemilikan BUMN sebesar 51 persen yang dimiliki pemerintah dan ini merupakan kepemilikan bersama,” tegas Adi. (*)